Selasa, 20 Juni 2023

Mewaspadai Sifat Munafik

Mewaspadai Sifat Munafik 

Teks Hadits

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR Al-Bukhari, Kitab Iman, Bab Tanda-tanda Orang Munafik, no. 33 dan Muslim, Kitab Iman, Bab Penjelasan Sifat-Sifat Orang Munafik, no. 59).

Menurut riwayat lain,

وِ إِنْ صَامَ وَ صَلَّى وَ زَعَمَ أَنُّه مُسْلِمٍ

“Dan apabila ia mengerjakan puasa dan shalat, ia menyangka bahwa dirinya seorang muslim” (HR Muslim, Kitab Iman, Bab Penjelasan Sifat-Sifat Orang Munafik, no. 59).

Penjelasan Hadits

Nifak atau pelakunya disebut munafik merupakan salah satu penyakit yang sangat berbahaya. Jika tidak ditangani sesegera mungkin akan mengakibatkan penderitanya binasa. Penyakit ini adalah penyakit yang amat menjijikkan dan mengakibatkan  penyimpangan yang amat buruk. Seorang mulim sejati tentu sangat mewaspadai penyakit akut ini, hanya saja terkadang ia tidak menyadari bahwa ternyata ia telah terjangkit penyakit ini, terutama nifak yang bersifat lahiriah.

Apa itu nifak? Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsir, nifak adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Sementara itu, Ibnu Juraij mengatakan, “Orang munafik ialah orang yang omongannya menyelisihi tindak-tanduknya, batinnya menyelisihi lahiriahnya, tempat masuknya menyelisihi tempat keluarnya, dan kehadirannya menyelisihi ketidakadaannya” (‘Umdah At-Tafsir I/78).

Awal Kemunculan Orang-Orang Munafik

Dalam sejarah Islam, sifat munafik baru muncul setelah hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah, tepatnya setelah peristiwa perang Badar. Saat itu di Makkah belum dijumpai orang-orang munafik. Yang ada justru sebaliknya, yaitu ada sejumlah orang yang menampakkan kekufuran karena acaman-ancaman yang menghujam namun sejatinya pada sanubarinya mukmin.

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa ketika di Makkah orang-orang mukmin masih terbilang sedikit, sementara orang-orang kafir mendominasi, sehingga seakan kaum mukmin nampak lemah. Situasi ini berubah drastis ketika Allah mengizinkan kaum mukmin berhijrah dari kampung halaman mereka di Makkah menuju Madinah yang saat itu sudah banyak pula orang yang memeluk agama Islam berkat –setelah taufiq Allah- delegasi-delegasi yang Nabi utus ke Madinah sebelumnya, seperti Mush’ab bin ‘Umair, untuk mendakwahkan Islam. Di kota inilah orang-orang beriman mulai nampak jaya dan berwibawa di mata seluruh dunia serta dipertimbangkan keberadaanya. Di masa ini pun belum ada orang-orang munafik.

Kejayaan ini semakin nampak jelas setelah peristiwa perang Badar antara orang-orang beriman melawan orang-orang kafir yang dimenangkan orang-orang beriman. Dengan demikian, Allah benar-benar meninggikan syiar Islam dan pemeluknya. Mulai saat itulah orang-orang kafir berpura-pura memeluk Islam, padahal hati mereka menyembunyikan kekufuran. Inilah yang disebut orang-orang munafik.

Tentang mereka, Allah berfirman (yang artinya), “Apabila mereka menjumpai orang-orang mukmin, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Namun jika mereka menyendiri beserta dedengkot-dedengkotnya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami di pihak kalian. Hanya saja kami hendak mengolok-olok kaum mukmin.’ Allah akan mengolok-olok mereka dan menelantarkan mereka dalam kedurhakaan, sedangkan mereka dalam keadaan bimbang” (QS: 2: 14-15).

“Apabila orang-orang munafik mendatangimu (Muhammad), mereka akan berkata, ‘Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkaulah utusan Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu pendusta” (QS: 60: 1).

Kemunafikan ini semakin menjadi-jadi setelah masa berlalu. Bahkan Imam Malik pernah berkata, “Nifaq di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu zindiq di masa kita sekarang” (Dalil Al-Falihin II/494).

Dalam Kitab At-Tauhid hlm. 20, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Orang-orang munafik itu akan terus ada sepanjang masa. Apalagi tatkala kekuatan Islam nampak dan mereka benar-benar tidak bisa mengalahkannya. Saat itulah mereka memeluk Islam dengan tujuan memasang makar buat Islam dan orang-orang Islam dalam hati mereka.”

Apa yang dikatakan Syaikh Shalih di atas memang benar-benar terjadi. Berapa banyak kita jumpai manusia yang mengaku dirinya muslim namun gerak-geriknya selalu mendukung langkah pihak-pihak kafir. Pernyataan-pernyataannya selalu menguntungkan orang-orang kafir dan menyakiti hati kaum muslimin.

Macam-Macam Nifak

Ketahuilah, bahwa nifak itu ada dua macam, yaitu nifak kecil dan nifak besar. Nifak kecil ialah berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang munafik, seperti yang tersebut dalam hadits di atas, dengan tetap ada iman dalam hati. Nifak jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, namun termasuk sarana menuju kekufuran. Jika perilaku-perilaku tersebut terus ia lakukan, tidak menutup kemungkinan ia akan terjerembab dalam kemunafikan. Wal’yadzubillah.

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga sifat nifak, yaitu suka berdusta dalam berucap, ingkar janji, dan berkhianat padahal sudah diberi kepercayaan.

Salah satu sifat di atas yang kiranya mendesak kita kupas –meski yang lain juga penting- ialah sifat khianat yang merupakan lawan daripada amanah yang dewasa ini banyak diterlantarkan.

Orang munafik jika diberi amanah harta akan menyelewengkannya, padahal Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintah kalian agar mengembalikan amanah pada pemiliknya” (QS: 4: 58).

Amanah di sini mencakup banyak artian yang semuanya harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, tidak malah bertindak khianat. Di antara amanah yang Allah bebankan pada seluruh hamba-Nya yaitu senantiasa menjalankan agama ini. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung namun semuanya enggan menerimanya dan takut darinya. Namun manusialah yang justeru memikulnya. Sesungguhnya manusia itu banyak bertindak aniaya dan jahil” (QS: 33: 72).

Di antara bentuk amanah lain ialah jabatan yang bersifat politik, dari mulai pejabat RT, kepada desa, bupati, hingga kepresidenan.  Mereka bertanggungjawab melaksanakan amanah yang besar ini tanpa diperkenankan menyelwengkannya. Jika ada dana yang seharusnya disalurkan untuk kepentingan masyarakat, maka tidak selayaknya dialihkan untuk kepentingan pribadi. Kemudian setelah tercium tidak-tanduknya, mulai mengeluarkan jurus andalan, lempar batu sembunyi tangan. Saling menyalahkan dan saling mengancam akan memongkar rahasia kejahatan masing-masing orang yang turut serta bersamanya.

Pejabat pemerintahan juga bertanggungjawab atas keamanan dan kemaslahatan masyarakat serta sejumlah tanggungjawab lainnya yang tidak bisa diremehkan. Seorang pejabat itu mestinya bertindak sebagai pelayan masyrakat, bukan malah merasa sebagai orang besar yang harus dihormati. Oleh karena itu, memegang tambuk kepemimpinan itu tidak mudah apalagi di negera besar seperti Indonesia. Tentu mengurus negara ini tidak semudah mengurus rumah tangga. Jika para pejabat tidak menunaikan amanah dengan baik padahal sudah dipercayai rakyat, bagaimana jika kelak di hari kiamat para pejabat itu dituntut oleh rakyat yang dahulu mempercayakan amanah pada mereka. Celakalah ia.

Jika orang yang menerima amanah tersebut adalah seorang mukmin yang betul-betul komitmen dengan keimanannya, tentu tindakan-tindakan rendahan semisal penyelewengan dana dan korupsi tidak akan pernah terjadi. Sebab, semakin kita dapati ada orang yang selalu menunaikan kewajiban dengan sempurna, maka berarti orang tersebut memiliki iman yang kuat. Sebaliknya, jika ada orang sembrono berbuat khianat, maka ketahuilah bahwa imannya sedang dalam bahaya. Minimal, imanya lemah. Jika ada orang yang merasa tubuhnya lemas saja segera mencari solusi agar dapat menguatkan stamina tubuhnya, tentu iman pun harus diperhatikan lebih ketat lagi jangan sampai loyo. Jika sampai lobet, maka kebinasaanlah baginya.

Selanjutnya nifak jenis kedua ialah nifak besar atau nifak yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu apabila seseorang menampakkan keimanan dan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dalam hati. Nifak jenis inilah yang ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayat-ayat Al-Quran diturunkan mencela dan mengkafirkan mereka serta mengabarkan bahwa orang yang memiliki sifat ini akan dikembalikan ke dalam kerak api neraka.

Allah beefirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kamu tidak akan melihat mereka memperoleh penolong” (QS: 4: 145).

Nifak ini pun ada enam macam:

  • Mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Mendustakan sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Membenci Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Membenci sebagian ajaran Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, seperti membenci jenggot, celana di atas mata kaki, poligami, dan lainnya.
  • Merasa gembira jika melihat agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam kondisi mundur
  • Merasa sempit dada jika melihat agama Islam jaya. (Lihat Kitab At-Tauhid Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm. 21)

Perbedaan Antara Nifak Besar dan Nifak Kecil

Antara nifak besar dan nifak kecil terdapat sejumlah perbedaan, yang paling mencolok ialah nifak besar dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, sementara nifak kecil tidak.

  • Nifak besar menggugurkan seluruh amalan pelakunya, sedangkan nifak kecil tidak.
  • Nifak besar berhubungan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam hal akidah, sedangkan nifak kecil berkaitan dengan perbedaan antara lahir dan batin dalam masalah perbuatan yang tidak ada sangkutpautnya dengan akidah.
  • Nifak besar menyebabkan pelakunya kekal di neraka, sedangkan nifak kecil tidak demikian.
  • Nifak besar tidak akan muncul dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang timbul dari orang mukmin.
  • Ghalibnya, orang yang terserang nifak besar tidak akan bertobat. Kalau toh bertaubat, secara lahiriah diperselisihkan statusnya, apakah diterima taubatnya atau tidak lantaran perkara tersebut sulit dibedakan karena pelakunya selalu menampakkan keislaman. (Lihat: Kitab At-Tauhid hlm. 22 dan Nur Al-Iman wa Zhulumat An-Nifaq hlm. 41)

Menjauhi Sifat Nifak

Melihat bahayanya sifat nifak ini, hendaknya seorang mukmin berusaha semaksimal mungkin memasang jarak dari sifat nifak,  baik nifak besar maupun kecil. Adalah para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shalih sangat mengkhawatirkan terjangkit penyakit hati yang satu ini. Sampai-sampai Abu Ad-Darda’ setiap habis shalat selalu minta perlindungan kepada Allah dari sifat nifak. Kebiasaan ini pun membuat orang bertanya pada beliau, “Ada apa antara engkau dengan nifak?” “Jauhi kami. Demi Allah, sesungguhnya seseorang bisa saja agamanya berubah dalam sesaat sehingga ia terlepas darinya,” jawab Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu.

Huzhaifah bin Al-Yaman adalah seorang pemegang rahasia Nabi. Beliau pernah diberi tahu nabi nama-nama orang munafik. Oleh sebab itu, karena Umar bin Al-Khattab amat sangat khawatir terhadap sifat nifak, beliau memberanikan diri bertanya pada Huzhaifah apakah Nabi mengkategorikannya sebagai orang munafik, maka Huzhaifah pun menjawab, “Tidak. Setelahmu, aku tidak mau lagi memberi rekomendasi.”

Dikisahkan bahwa sebagian sahabat biasa berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya hamba memohon perlindungan dari khusyuknya nifak.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud khusyuk nifak?” Jawabnya, “Tubuh yang terlihat khusyu’ namun ternyata hati tidak.”

Ibnu Abi Malikah pernah mengatakan, “Aku telah menjumpai tiga puluh sahabat Nabi, seluruhnya takut akan nifak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan, bahwa dirinya memiliki iman seperti imannya Jibril dan Mikail.

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidak ada orang merasa aman dari sifat nifak kecuali orang munafik dan tidak ada orang yang merasa khawatir terhadapnya kecuali orang mukmin.”

Beberapa Tips Agar Terhindar dari Sifat Nifak

Agar seorang mukmin dapat terjaga dari sifat nifak ini, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Mufsidat Al-Qalb: An-Nifaq hlm. 47-52 memberikan beberapa tips yang sebaiknya dilakukan:

  • Bersegera melaksanakan shalat jika waktunya telah tiba dan berusaha mendapatkan takbiratul ihram imam shalat jamaah di masjid. Hal ini mengingat hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menunaikan shalat berjama’ah selama 40 dengan memperoleh takbiratul ihram imam, maka ia akan ditetapkan terbebas dari dua hal, yakni terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan” (HR At-Tirmidzi).
  • Berakhlak baik dan memperdalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua sifat yang tidak akan pernah tergabung dalam hati orang munafik: perilaku luhur dan pemahaman dalam agama” (HR At-Tirmidzi).
  • Bersedekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah merupakan bukti” (HR Muslim). Bukti di sini maksudnya bukti akan keimanan. Oleh karena itu, orang munafik tidak suka bersedekah karena tidak adanya iman yang mendasarinya.
  • Menghidupkan shalat malam. Adalah Qatadah pernah berkata, “Orang munafik itu sedikit sekali shalat malam.” Hal tersebut karena orang munafik hanya akan semangat beramal jika ada orang yang menyaksikannya. Jika tidak ada, maka motifasi untuk beramal shalih pun tiada. Maka jika ada seorang hamba mendirikan shalat malam, maka itu menjadi bukti bahwa dalam dirinya tidak ada sifat nifak dan menjadi bukti keimanannya yang benar.
  • Jihad di jalan Allah, Imam Muslim menceritakan dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mati dalam keadaan tidak pernah berperang dan tidak pernah terbetik dalam dirinya, maka ia mati di atas cabang kemunafikan.” An-Nawawi menjelaskan, “Maksudnya, siapa yang melakukan hal ini, maka ia dianggap telah menyerupai orang-orang munafik yang tidak melaksanakan jihad.”
  • Memperbanyak zikir, Ka’b menyatakan, “Orang yang memperbanyak zikir, akan terlepas dari sifat nifak.” Sedangkan Ibnul Qayyim menulis, “Sejatinya banyak zikir merupakan jalan aman dari kemunafikan. Sebab, orang-orang munafik sedikit berzikir. Allah berfirman tentang orang-orang munafik, ‘Dan mereka tidak berzikir kecuali sedikit.’ (QS: 3: 142)” Sebagian sahabat pernah ditanya, “Apakah sekte Khawarij itu munafik?” Maka dijawablah, “Tidak. Orang munafik itu sedikit berzikir.”
  • Berdoa, Hal ini sebagaimana riwayat dari Abu Ad-Darda’ di atas.
  • Mencintai sahabat anshar. Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tanda keimanan ialah mencintai kaum anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci kaum anshar” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dari sifat kemunafikan ini dan segala sifat buruk yang melemahkan iman dan agar kita diwafatkan di atas cahaya keimanan.

***

Bahan bacaan:

  • Syarh Riyadh Ash-Shalihin, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
  • Bahjah An-Nazhirin syarh Riyadh Ash-Shalihin, Salim bin ‘Ied Al-Hilali
  • Kitab At-Tauhid, Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
  • Mufsidat Al-Qulib: An-Nifaq, Muhammad Shalih Al-Munajjid
  • Al-Qaul Al-Munir fi Ma’na La Ilaha Illalah, ‘Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi
  • Umdah At-Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibnu Katsir, Ahmad Syakir
  • Nur Al-Iman wa Zhulumat An-Nifaq, Sa’id bin Wahf bin ‘Ali Al-Qahthani

Indikator Utama Baik Dan Buruknya Seseorang

Indikator Utama Baik Dan Buruknya Seseorang 

Hidup di zaman ini terkadang membuat diri kita melihat beragam hal-hal aneh dan mengherankan yang dengan mudahnya terjadi di sekitar kita. Fenomena rusaknya moral yang hampir merata di semua lapisan masyarakat. Kriminalitas dan kejahatan yang begitu beragam dan tidak mengenal waktu serta tempat. Begitu mudahnya menemukan pengkhianatan, penipuan, saling membunuh dan saling memusuhi hanya karena sesuatu yang sepele. Dan keburukan-keburukan lainnya.

Tahukah kalian apa faktor terbesar yang mendorong seseorang untuk melakukan semua hal itu?

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya faktor terbesar rusaknya seseorang adalah rusaknya hati dan penuhnya ia dengan kotoran-kotoran. Hati merupakan indikator utama untuk mengetahui baik atau buruknya perangai dan moral seseorang. Mereka yang memiliki hati yang bersih, maka seluruh gerak-gerik dan tingkah lakunya pun akan ikut bersih dan membaik. Adapun mereka yang memiliki hati yang rusak dan kotor, maka akan nampak pula pada perangai dan gerak-geriknya sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menyampaikan hal ini dalam salah satu hadisnya,

ألَا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً: إذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألَا وهي القَلْبُ

“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan,

الْقَلْبُ هُوَ الْأَصْلُ فَإِذَا كَانَ فِيهِ مَعْرِفَةٌ وَإِرَادَةٌ سَرَى ذَلِكَ إلَى الْبَدَنِ بِالضَّرُورَةِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَخَلَّفَ الْبَدَنُ عَمَّا يُرِيدُهُ الْقَلْبُ

“Hati adalah asalnya (segala sesuatu). Jadi, jika ada pengetahuan dan keinginan di dalamnya, maka akan berimbas ke tubuh secara otomatis. Tidak mungkin anggota tubuh dengan serta merta menyelisihi apa yang diinginkan oleh hati.” (Majmu’ Fatawa, 7: 187)

Ibnul Qayyim  rahimahullah juga mengatakan, “Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati. Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggung jawab atas seluruh (amalan badan).” (Ighasah Al-Lahfan, 1: 5)

Apa yang dimaksud dengan ‘hati’?

Saat menyebutkan kata ‘hati’ sebagian dari kita mungkin bingung, karena hati menurut kedokteran dan istilah bahasa yang sering kita gunakan bermakna “salah satu anggota tubuh berwarna kemerahan di bagian kanan atas rongga perut, yang berfungsi untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah kita.” Atau jika dalam literasi Arab, maka maknanya adalah “jantung”. Lalu, apa hubungan kedua organ tubuh tersebut dengan baik atau buruknya seseorang?

Perlu kita pahami terlebih dahulu, ‘hati’ yang kita maksudkan pada pembahasan kali ini bukanlah hati yang merupakan anggota tubuh kita. Akan tetapi, ‘hati’ di sini memiliki makna lain yang bersifat tak kasat mata, sesuatu yang bersifat maknawi.

Sebagian ulama memaknainya dengan, “Sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia, tak kasat mata, karunia dari Allah kepada manusia dan bersifat spiritual, memiliki keterkaitan dengan ‘hati/ jantung’ manusia yang sesungguhnya. Akan tetapi, keterkaitannya tersebut hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.”

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan rincian,

ويطلق القلب على معنيين: أحدهما: أمر حسي وهو العضو اللحمي الصنوبري الشكل المودع في الجانب الأيسر من الصدر وفي باطنه تجويف وفي التجويف دم أسود وهو منبع الروح. والثاني: أمر معنوي وهو لطيفة ربانية رحمانية روحانية لها بهذا العضو تعلق واختصاص، وتلك اللطيفة هي حقيقة الإنسانية

“Hati (القلب) disebut dalam dua arti: Yang pertama, bersifat indrawi (bisa dirasakan oleh panca indera), yaitu organ berdaging berbentuk cemara (lengkungan) yang berada di sisi kiri dada, di dalamnya ada rongga, dan di dalam rongga itu ada darah hitam, yang mana adalah sumber jiwa.  Yang kedua, bersifat maknawi (moral), yang mana merupakan kelembutan spiritual bersumber dari Allah, penuh belas kasihan, yang memiliki keterikatan dan kekhususan pada organ (hati) ini, dan kelembutan itu adalah realitas kemanusiaan.” (At-Tibyan fii Aqsami Al-Qur’an, 1: 263)

Peranan hati dalam membangun karakter manusia

Hati memiliki peranan yang sangat penting  di dalam membangun karakter seseorang melebihi anggota tubuh lainnya, karena pada hati itulah Allah Ta’ala uji ketakwaan seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,

 أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى

“Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التَّقْوَى هاهُنا. ويُشِيرُ إلى صَدْرِهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

“Takwa itu letaknya di sini.” sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. (HR. Muslim no. 2564)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk dada beliau karena hati manusia terletak di dalamnya. Nabi menjelaskan bahwa ketakwaan (yang mana sumbernya adalah pengetahuan dan rasa takut) semuanya berasal dari hati seseorang. Seseorang tidak akan bisa mengerjakan sebuah amalan dengan benar dan menjauhkan diri dari dosa-dosa, kecuali hatinya telah bersih terlebih dahulu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan bahwa Allah Ta’ala akan menilai seseorang berdasarkan hati dan amalan mereka, bukan berdasarkan harta kekayaan maupun penampilan mereka. Beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Berapa banyak orang yang berlidah baik, rupawan, terpandang, akan binasa esok di hari kiamat karena perbuatan buruknya, keburukan perilakunya, dan keburukan ketidaktulusannya. Sungguh hati merupakan sisi yang diperhatikan saat melihat hakikat sesuatu, tidak berguna indahnya penampilan dan indahnya ucapan jika ia memiliki hati yang kotor.” (Faidhul Qadiir, 5: 50)

Ibnul Qayyim rahimahullah bahkan menyebutkan,

 الْأَعْمَالَ لَا تَتَفَاضَلُ بِصُوَرِهَا وَعَدَدِهَا، وَإِنَّمَا تَتَفَاضَلُ بِتَفَاضُلِ مَا فِي الْقُلُوبِ، فَتَكُونُ صُورَةُ الْعَمَلَيْنِ وَاحِدَةً، وَبَيْنَهُمَا فِي التَّفَاضُلِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَالرَّجُلَانِ يَكُونُ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا، وَبَيْنَ صَلَاتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Sejatinya amalan satu dengan yang lainnya, tidaklah saling unggul hanya karena bentuknya yang berbeda dan jumlahnya yang berbeda, akan tetapi ia saling unggul karena saling unggulnya apa yang ada di dalam hati. Dua amalan yang berbentuk sama (sangatlah mungkin) memiliki kualitas yang berbeda sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Dua orang yang salat dalam satu saf yang sama (bisa jadi) kualitas salat mereka (berbeda) layaknya bumi dan langit.” (Madarijus Salikiin, 1: 340)

Dari pemaparan di atas, seorang mukmin dituntut untuk lebih memperhatikan kebersihan dan kesucian hatinya, menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat mengotori kesucian hatinya serta senantiasa istikamah di dalam bertauhid dan kuat di atas kebenaran.

Mengapa? Karena hati merupakan indikator baik atau buruknya diri seseorang, di samping ia merupakan salah satu sisi manusia yang paling rapuh dan rentan, begitu mudahnya ia berbolak-balik, dari yang sebelumnya condong kepada kebenaran berubah condong kepada kejelekan, ataupun sebaliknya.

Pada pembahasan selanjutnya, insyaAllah akan kita bahas beberapa hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap kebersihan dan kesucian hati serta bagaimana cara mengobatinya

Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab.

***

Setiap kali Allah menyebutkan nikmat-Nya, kita pasti diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya.

Setiap kali Allah menyebutkan nikmat-Nya, kita pasti diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya.

Ketika setiap kali Allah menyebutkan nikmat-Nya, kita pasti diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Sebab, ibadah itu bentuk SYUKUR KITA KEPADA ALLAH.

Coba renungkan dua surah berikut.

SURAH PERTAMA

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS. Al Kautsar: 1-3).

Al-Kautsar bisa berarti: (1) kebaikan yang banyak, (2) sungai Al-Kautsar, (3) haudh (telaga) Al-Kautsar.

Lihatlah setelah Allah menganugerahkan kebaikan yang banyak dan ini pasti jadi nikmat, maka diperintahkan melakukan shalat dan berqurban.

SURAH KEDUA

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 1-4)

Dalam surah Quraisy ini diperintahkan untuk beribadah kepada Allah yang menjadi Rabb Ka’bah dalam rangka mensyukuri nikmat kemudahan melakukan perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Juga diingatkan akan rezeki makan dan rasa aman sehingga patut disyukuri dengan ibadah.

Marilah kita selalu mengingat bahwa setiap nikmat yang kita terima berasal dari Allah. Oleh karena itu, janganlah lupa untuk senantiasa bersyukur dan beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Ingatlah bahwa ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan tulus akan menjadi bekal kita di dunia dan akhirat. Jangan sia-siakan waktu yang ada, gunakanlah sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semoga kita senantiasa diberi kemampuan untuk melakukan ibadah yang bermakna dan menjadi hamba yang selalu bersyukur. Aamiin.

Sederhanakan Urusan Duniamu

Sederhanakan Urusan Duniamu 

Hidup di dunia ibarat musafir dan dia akan kembali ke negeri sejatinya yakni kampung akhirat. Sebagaimana orang yang menyewa sebuah rumah, tentunya ia akan berpikir ulang ketika akan memperbagus rumah tersebut dengan biaya yang tak sedikit. Atau membeli perabotan yang banyak yang memenuhinya.

Di sinilah mukmin yang cerdas akan menyederhanakan kehidupan dunianya dalam perkara-perkara yang tidak terlalu urgen. Sebatas hal-hal bermanfaat untuk kehidupan dunia yang semua itu dilakukan untuk menopang kehidupan akhirat. Sesuatu yang wajar-wajar saja dan tidak berlebihan agar semua yang dimilikinya terasa lebih nikmat, atau sesuatu yang dilakukannya benar-benar bermanfaat untuk tubuhnya, menguatkan hatinya, dan menambah iman dan takwanya pada Allah Ta’ala.

Untaian-untaian kata di bawah ini semoga semakin menambah semangat kita untuk menata ulang pola pikir bahwa dunia ini akan fana dan sirna karena dia adalah sebuah episode yang akan berakhir.

Orang yang mengejar akhirat maka dia akan menganggap dunia begitu remeh dan hatinya tidak akan galau hanya karena masalah dunia.

Hidup Tak Akan Galau

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata: kegelisahan, kesusahan, dan kesedihan datang dari dua hal: pertama, menginginkan dan berambisi terhadap dunia; kedua, kurangnya melakukan amal kebaikan dan ketaatan (Uddatus Shabirin, hlm 258).

Orang yang orientasi hidupnya mengejar dunia dengan segala kenikmatannya tanpa menyisakan ruang hatinya untuk meraih kebahagiaan akhirat maka dia akan merugi, dunia belum tentu teraih sedangkan target akhirat bisa lepas.

Karena itu kejarlah akhirat niscaya dunia akan mendatangi kita. Saat dunia menari-nari dengan segala pesonanya yang memikat saat itulah hati terus risau karena semakin hati condong pada dunia maka kehidupan akhirat kian jauh untuk diraih.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun cara menguasai hati yang dikuasai oleh syahwat, perlu dinasehati dengan baik agar menyederhanakan urusan dunia dan meningkatkan urusan akhiratnya” (Ighasatul Lahfan Min Masha’idisy Syaitan, I:450)

Unggulilah dalam Urusan Akhirat

Menyederhanakan urusan dunia akan melapangkan hati sehingga dia tak akan sibuk meraih dunia secara berlebihan sehingga waktunya terforsir untuk mengejarnya. Karena obsesi puncaknya adalah kebahagiaan akhirat maka tatkala orang lain mengunggulinya dalam masalah harta, jabatan, anak, dan berbagai ragam kenikmatan dunia, maka dia tetap tawadhu’ dan tak gelisah. Sebaliknya justru semangatnya semakin membara untuk mengunggulinya dalam perkara ketakwaan dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam hal dunia, maka unggulilah dia dalam hal akhirat” (Lathaif Al Ma’arif Ibnu Rajab Al Hanbali, hlm 428).

Sungguh hati ini sangat berkesan ketika melihat sosok mukminah yang Allah Ta’ala lapangkan rejekinya namun dari sisi penampilan begitu sederhana nyaris tak terlihat bahwa dia sosok kaya raya. Perabotannya juga tak beda dengan orang berkelas. Ditambah juga keunggulannya adalah dia justru mencurahkan waktunya, hidupnya, dan kakinya untuk mengejar kemuliaan akhirat. Bukan berarti dia meremehkan dunia namun dia memperioritaskan hidupnya untuk sesuatu yang abadi .

Demikian pula para umahat mukminin dan para shahabiyah mereka lebih fokus membaguskan iman, giat menuntut ilmu, beramal saleh meskipun kata-kata kehidupan mereka serba sederhana lagi bersahaja. Gebyar kemilau dunia tak menyurutkan langkanya untuk mencari kebahagiaan yang pasti yaitu negeri akhirat.

Hendaklah kalian menjauhi lebih-lebihan makan, bicara dan tidur, karena itu menjadi sebab hilangnya kenikmatan dunia dan akhirat. Saatnya hidup mulia dengan segala dilupakan nikamat dari Allah Ta’ala, menggunakannya untuk mencari akhirat dan menilai orang lain dengan kacamata akhirat, ketaqwaannya dan kesalehannya, bukan dengan standar dunia yang lebih mengagungkan materi, dengan menyediakan kehidupan dunia niscaya ia akan lebih siap mengumpulkan bekal menuju masa depannya dan hisabnya akan Akan lebih ringan dan mudah biidznillah.

Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

Kemudian kamu pasti ditanya pada hari itu tentang semua kenikmatan” (QS. At Takatsur: 8 ).

Semoga Allah memberi taufik.

Punya Banyak Gelar Di Dunia, Namun Buta Agama

Punya Banyak Gelar Di Dunia, Namun Buta Agama 

Ada yang punya rentetan gelar begitu banyak, punya jabatan yang tinggi, namun sayangnya ibadahnya tidak beres. Ilmu agamanya masih sangat minim. Ditambah lagi tak punya keinginan untuk menambah ilmu akhirat, beda dengan ilmu dunianya yang terus ia kejar.

Pahamilah …

Ilmu yang mendapatkan pujian dan memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah ilmu syar’i atau ilmu agama. Ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaaha: 114)

Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Firman Allah Ta’ala (yang artinya), ’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang muslim yang terbebani syari’at mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan.”  (Fath Al-Bari, 1: 141)

Adapun tambahan ilmu yang dimaksud ada tiga pendapat ulama dalam hal ini.

  1. Tambahkanlah ilmu tentang Al-Qur’an.
  2. Tambahkanlah kepahaman.
  3. Tambahkanlah hafalan.

Pendapat pertama di atas dari Maqatil. Sedangkan pendapat kedua dari Ats-Tsa’labiy. Demikian disebutkan dalam Zaad Al-Masiir karya Ibnul Jauzi rahimahullah.

Celaan bagi yang Bergelar Ilmu Dunia Tinggi, Namun Buta Ilmu Agama

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan celaan bagi orang yang hanya pandai dalam ilmu duniawi, namun lalai terhadap urusan akhirat (ilmu syar’i). Inilah kondisi mayoritas kaum muslimin saat ini ketika ilmu syar’i sudah benar-benar terlupakan dari perhatian mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum: 7)

Maksudnya, sebagian besar manusia tidaklah mempunyai ilmu kecuali ilmu tentang dunia, dan segala yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa memberikan manfaat bagi akhirat mereka.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

وَاللهِ لَبَلَغَ مِنْ أَحَدِهِمْ بِدُنْيَاهُ أَنْ يُقَلِّبَ الدِّرْهَمَ عَلَى ظُفْرِهِ فَيُخْبِرُكَ بِوَزْنِهِ وَمَا يُحْسِنُ أَنْ يُصَلِّيَ

”Demi Allah, salah seorang dari mereka telah mencapai keilmuan yang tinggi dalam hal dunia, di mana ia mampu memberitahukan kepadamu mengenai berat sebuah dirham (uang perak) hanya dengan membalik uang tersebut pada ujung kukunya, sedangkan dirinya sendiri tidak becus dalam melaksanakan shalat.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 84. Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa As-Suyuthi dalam Ad-Daar Al-Mantsur menisbatkan perkataan ini pada Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sungguh mengherankan ada yang begitu brilian dalam ilmu atom, listrik, bahkan mereka ialah ahli dalam bidang tranportasi darat, laut dan udara, kebrilianannya begitu mencolok. Mereka terlihat sangat pandai dalam ilmu keduniaan tadi. Mereka pandang dengan takdir Allah yang lain tak secerdas mereka. Akhirnya mereka menganggap diri mereka hebat dan pintar, hingga memandang yang lain sebelah mata. Namun sangat disayangkan, mereka malah ‘buta’ dalam hal agama. Mereka malah jadi orang yang benar-benar lalai dari akhirat. Mereka tak memandang bahwa hidup di dunia pasti ada akhirnya. Mereka benar-benar berada dalam kepandiran. Mereka lupa pada Alah, maka pantas saja mereka dilupakan oleh diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik[1].” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 637)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِي جَوَّاظٍ سَخَابٍ فِي الأَسْوَاقِ جَيْفَةٌ بِاللَّيْلِ حِمَارٌ بِالنَّهَارِ عَالِمٌ بِالدُّنْيَا جَاهِلٌ بِالآخِرَةِ

Allah sangat membenci orang ja’dzari (orang sombong), Jawwadz (rakus lagi pelit), suka teriak di pasar (bertengkar berebut hak), bangkai di malam hari (tidur sampai pagi), keledai di siang hari (karena yang dipikir hanya makan), pintar masalah dunia, namun bodoh masalah akhirat.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya 72 – Al-Ihsan. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini dha’if, lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 2304. Adapun Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq Shahih Ibnu Hibban menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih  sesuai syarat Muslim)

[1] Fasik secara bahasa berarti keluar dari ketaatan, keluar dari agama, dan jauh dari keistiqamahan. Sedangkan secara istilah, fasik adalah keluar dari ketaatan dan melampaui batas dengan bermaksiat.

Kefasikan bisa jadi adalah dosa karena berbuat syirik, bisa jadi pula karena berbuat dosa besar walau sedikit, juga bisa karena berbuat dosa lainnya. Atau pengertian gampangnya seperti pernah dikemukakan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Fasik adalah orang yang melakukan dosa besar atau orang yang terus menerus melakukan dosa kecil.”

Kamis, 21 Juli 2011

Barokah Shalat Khusyu

Barokah Shalat Khusyu


Hikam:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu dalam sholatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna. (Al-Quran: Surat Al-Mu`minun )
Rosulullah SAW bersabda : Ilmu yang pertama kali di angkat dari muka bumi ialah kekhusyuan. (HR. At-Tabrani )
Nabi Muhammad SAW dalam sholatnya benar-benar dijadikan keindahan dan terjadi komunikasi yang penuh kerinduan dan keakraban dengan Allah. Ruku, sujudnya panjang, terutama ketika sholat sendiri dimalam hari, terkadang sampai kakinya bengkak tapi bukannya berlebihan, karena ingin memberikan yang terbaik sebagai rasa syukur terhadap Tuhannya. Sholatnya tepat pada waktunya dan yang paling penting, sholatnya itu teraflikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri orang-orang yang sholatnya khusyu:
  1. Sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia apa lagi maksiat. Jadi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu suka berbuat maksiat berarti sholatnya belum berkualitas atau belum khusyu.
  2. Niatnya ikhlas, jarang kecewa terhadap pujian atau penghargaan, dipuji atau tidak dipuji, dicaci atau tidak dicaci sama saja.
  3. Cinta kebersihan karena sebelum sholat, orang harus wudhu terlebih dahulu untuk mensucikan diri dari kotoran atau hadast.
  4. Tertib dan disiplin, karena sholat sudah diatur waktunya.
  5. Selalu tenag dan tuma`ninah, tuma`ninah merupakan kombinasi antara tenang dan konsentrasi.
  6. Tawadhu dan rendah hati, tawadhu merupakan akhlaknya Rosulullah.
  7. Tercegah dari perbuatan keji dan munkar, orang lain aman dari keburukan dan kejelekannya.

Orang yang sholatnya khusyu dan suka beramal baik tapi masih suka melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, mudah-mudahan orang tersebut tidak hanya ritualnya saja yang dikerjakan tetapi ilmunya bertambah sehingga membangkitkan kesadaran dalam dirinya.

Jika kita merasa sholat kita sudah khusyu dan kita ingin menjaga dari keriaan yaitu dengan menambah pemahaman dan mengerti bacaan yang ada didalam sholat dan dalam beribadah jangan terhalang karena takut ria.
Inti dalam sholat yang khusyu yaitu akhlak menjadi baik, sebagaimana Rosulullah menerima perintah sholat dari Allah, agar menjadikan akhlak yang baik. Itulah ciri ibadah yang disukai Allah.
Semoga dibulan ramadhan ini kita meningkatkan kualitas sholat kita.
by:jamal

Amal yang Tetap Bermakna

Amal yang Tetap Bermakna


Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan ALLOH datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuannya bersenang-senangnya bersama ALLOH malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu, tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarrub kepada ALLOH sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Ketika berwudhu, misalnya, ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.
Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat, dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.
Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan ALLOH. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini.
Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak? Orang-orang yang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus.
Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada ALLOH saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, "Bismilahirrahmanirrahiim, ya ALLOH semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan". Lisannya yang bening senantiasa memuji ALLOH atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada ALLOH.
Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh [maaf!] pantat di kursi. Tidak usah heran bila suatu saat ALLOH memberi peringatan dengan sakit ambaien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang ALLOH karuniakan kepada kita.
Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa ALLOH-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya.
Kalau membeli sesuatu, perhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena ALLOH. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena ALLOH. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada tiga jenis, 1) Kendaraan untuk ALLOH, 2) Kendaraan untuk setan, 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk ALLOH. Tapi kalau sekedar untuk pamer, ria, ujub, maka inilah kendaraan untuk setan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misakan kuda dipelihara, dikembangbiakan, dipakai tanpa niat, maka inilah kendaran untuk diri sendiri.
Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena ALLOH. Karenanya bermohon saja kepada ALLOH, "Ya ALLOH saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah". Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka, bensinnya, tempat duduknya, shockbreaker-nya, dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya ALLOH. Sebaliknya jika digunakan untuk maksiyat, maka kita juga yang akan menanggungnya.
Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkanya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, "Ya ALLOH saya ingin tahajud, bangunkan jam 03. 30 ya ALLOH". Weker pun diputar, istri diberi tahu, "Mah, kalau mamah bangun duluan, bangunkan Papah. Jam setengah empat kita akan tahajud. Ya ALLOH saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya doa". Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud.
Sayangnya, ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh ALOH, maka kalau ia sudah bertekad, ALLOH pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin ALLOH tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras banyak tenaga. ALLOH Mahatahu apa yang akan terjadi, ALLOH juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya ALLOH-lah yang menidurkan kita dengan pulas.
Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah. ***